Home » Budaya Jepang » Agama Orang Jepang: Fakta Unik Shinto, Buddha & Sekularisme

Agama Orang Jepang: Fakta Unik Shinto, Buddha & Sekularisme

Agama Orang Jepang Fakta Unik Shinto, Buddha & Sekularisme

Masyarakat Jepang dikenal memiliki budaya yang sangat unik dan terstruktur, menjunjung tinggi disiplin dan etika sosial. Namun, ketika membicarakan masalah agama, fenomenanya seringkali membingungkan dan bahkan kontradiktif bagi orang asing. Kehidupan spiritual di Jepang dicirikan oleh tingkat fleksibilitas dan praktik sinkretisme yang tinggi.

Tidak aneh melihat seseorang yang menjalani apa yang disebut “siklus kehidupan ganda”. Misalnya, banyak orang Jepang yang merayakan Natal sebagai hari libur romantis atau pun komersial, meskipun mereka tidak beragama Kristen. Untuk menandai momen penting seperti kelahiran dan pernikahan, mereka sering memilih untuk melakukan upacara di kuil Shinto. Sebaliknya, ketika menghadapi kematian dan ritual pemakaman, mereka akan beralih ke tradisi Buddhis.

Fenomena ini menggarisbawahi kompleksitas dalam kehidupan spiritual mereka. Meskipun data survei sering menempatkan Jepang sebagai salah satu negara paling sekuler di dunia, dengan mayoritas penduduk menyatakan tidak memiliki keyakinan agama yang kuat, negara ini tetap merupakan rumah bagi dua tradisi spiritual besar yang sangat erat terjalin dengan kehidupan sehari-hari: Shinto dan Buddhisme. Kedua tradisi ini tidak saling menghilangkan, melainkan hidup berdampingan dan membagi peran dalam berbagai aspek budaya dan sosial.

Artikel LPK Jabung ini akan mengupas tuntas bagaimana kedua agama ini berdampingan, apa peran khas mereka dalam siklus kehidupan, dan mengapa data statistik agama di Jepang seringkali terlihat kontradiktif.

Agama di Jepang Beserta Penganutnya

Meskipun Jepang memiliki populasi sekitar 128 juta jiwa dan luas wilayah 145.884 mil persegi, menentukan statistik keagamaan secara pasti adalah hal yang sulit karena pemerintah tidak mewajibkan pelaporan keanggotaan agama.

Dilansir dari The ARDA (The Association of Religious Data Archives), pada tahun 2006, Badan Urusan Kebudayaan melaporkan klaim total keanggotaan agama mencapai 209 juta orang, angka ini hampir dua kali lipat populasi negara. Hal ini terjadi karena praktik sinkretisme yang umum, di mana banyak warga Jepang berafiliasi atau mempraktikkan ritual dari dua agama atau lebih secara bersamaan, terutama Shinto dan Buddha.

Secara rinci, Badan tersebut mencatat:

  • Shinto: 107 juta penganut
  • Buddha: 89 juta penganut
  • Kristen: 3 juta penganut
  • Agama Lain: 10 juta penganut (termasuk agama baru seperti Tenrikyo dan Soka Gakkai).

Di antara kelompok minoritas, diperkirakan ada 115.000 hingga 125.000 Muslim (10% di antaranya adalah warga negara Jepang) dan sekitar 2.000 Yahudi (kebanyakan lahir di luar negeri).

Baca Juga: Penasaran dengan Kehidupan Muslim di Jepang? Ketahui Di Sini!

Sistem keagamaan di Jepang sangat terstruktur; pada tahun 2006, Pemerintah mengakui 154 aliran Buddhisme (termasuk aliran utama seperti Tendai, Shingon, dan Zen) serta dua aliran utama Shintoism (Jinjahoncho dan Kyohashinto). Organisasi awam seperti Soka Gakkai juga memiliki basis keanggotaan yang besar.

AgamaJumlah PenganutPersentase (dari total keanggotaan)
Shinto

107 juta

≈51,2%

Buddha

89 juta

≈42,6%

Kristen

3 juta

≈1,4%

Agama Lain

10 juta

≈4,8%

Total Keanggotaan

209 juta

100%

Catatan Penting: Persentase dihitung dari total klaim keanggotaan (209 Juta), bukan dari total populasi Jepang (128 Juta). Total klaim ini melebihi populasi karena praktik sinkretisme (penganut ganda) di mana banyak orang Jepang berafiliasi dengan Shinto dan Buddha secara bersamaan.

Shinto: Agama Asli dan Tradisi Kehidupan

Shinto (Shintō, yang secara harfiah berarti “Jalan Para Dewa”) adalah kepercayaan asli Jepang dan merupakan fondasi spiritual serta budaya bangsa. Keunikan utama Shinto adalah bahwa ia tidak memiliki pendiri, dogma formal, atau kitab suci yang tertulis seperti agama-agama monoteistik lainnya. Shinto lebih merupakan kumpulan praktik, mitos, dan nilai-nilai yang telah diwariskan secara turun-temurun. Agama ini berpusat pada pemujaan Kami (神), yaitu roh suci atau esensi spiritual yang dapat bersemayam di berbagai tempat dan benda di alam (seperti pepohonan, gunung, air) dan juga roh para leluhur yang dianggap sebagai pelindung keluarga dan komunitas.

Praktik Shinto sangat berfokus pada kehidupan, terutama aspek pemurnian, kesuburan, dan perayaan momen penting. Orang Jepang sering mengunjungi kuil Shinto (jinja) untuk mendoakan keselamatan, kesuksesan bisnis, kelahiran anak, dan pernikahan. Festival-festival tradisional (matsuri) juga merupakan bagian penting dari perayaan Shinto. Festival-festival yang meriah ini adalah perayaan Shinto yang bertujuan untuk menyenangkan Kami dan meminta berkat. Festival-festival ini sangat dinamis dan menjadi ajang demonstrasi identitas budaya lokal. 

Secara estetika, Shinto juga memengaruhi seni dan arsitektur Jepang melalui penekanan pada kesederhanaan, keaslian, dan harmoni dengan alam, tercermin dalam desain kuilnya yang menggunakan kayu alami dan pintu gerbang khas Torii.

Filosofi Shinto meyakini bahwa manusia pada dasarnya baik, dan ritualnya bertujuan untuk pemurnian dari kekotoran atau roh jahat. Shinto mempengaruhi estetika Jepang, seperti kesukaan pada kesederhanaan dan harmoni dengan alam.

Baca Juga: Perbedaan Budaya Jepang dan Indonesia: Apa Saja Bedanya?

Buddhisme: Agama dari Luar dan Ritual Kematian

Buddhisme (Bukkyō) pertama kali dibawa ke Jepang dari daratan Asia (melalui Tiongkok dan Korea) pada abad ke-6 Masehi. Berbeda dengan Shinto yang merupakan kepercayaan asli, Buddhisme adalah agama yang datang dari luar. Ajaran intinya berfokus pada pencarian pencerahan (Nirwana) dan pemahaman tentang siklus kehidupan (samsara atau reinkarnasi), dengan tujuan utama membebaskan makhluk dari penderitaan.

Meskipun pada periode awal (Periode Nara dan Heian), Buddhisme memiliki pengaruh politik dan intelektual yang sangat kuat, bahkan pernah bersaing dengan Shinto, perannya kini telah berevolusi. Alih-alih mendominasi semua aspek kehidupan, Buddhisme mencapai sinergi unik dengan Shinto yang bertahan hingga kini. Shinto mengambil alih perayaan kehidupan (kelahiran dan pernikahan), sementara Buddhisme mengambil peran utama dalam mengurus alam baka. 

Mayoritas mutlak orang Jepang memilih untuk dimakamkan melalui upacara Buddhis yang rumit. Para biksu memberikan nama anumerta (kaimyō) kepada jenazah, yang dipercaya penting untuk membantu roh melewati transisi ke alam berikutnya.

Kuil-kuil Buddha tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga berfungsi sebagai pusat peringatan leluhur dan sering kali terhubung dengan kompleks pemakaman. Selain di kuil, di banyak rumah tangga Jepang, terdapat Butsudan (altar Buddha mini) yang menjadi tempat abu dan lempengan nama leluhur disimpan. Merawat Butsudan dan memberikan persembahan setiap hari adalah praktik umum yang menunjukkan rasa hormat dan koneksi berkelanjutan dengan leluhur, meskipun anggota keluarga tidak secara aktif mempelajari ajaran Buddha.

Peran terspesialisasi ini memungkinkan masyarakat Jepang untuk menjaga tradisi agama mereka tanpa terikat pada dogma ketat dalam kehidupan sehari-hari. Mereka dapat mengakui dan menghormati aspek spiritual alam baka (Buddha) sambil merayakan kehidupan di dunia ini (Shinto).

Fenomena Sekuler dan Sinkretisme Unik

Terdapat kontradiksi menarik antara data afiliasi resmi dan survei pribadi mengenai agama di Jepang. Meskipun data resmi menunjukkan jumlah penganut Shinto dan Buddha yang sangat tinggi (bahkan melebihi 100% populasi), survei pribadi menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Jepang sebenarnya tidak memiliki keyakinan agama yang kuat dan menganggap diri mereka sekuler.

Fenomena ini disebut sinkretisme, di mana dua atau lebih tradisi agama hidup berdampingan dan bercampur secara harmonis. Bagi banyak orang Jepang, berpartisipasi dalam ritual keagamaan adalah bagian dari warisan budaya yang dihormati (minzoku shūkyō), bukan keyakinan spiritual yang ketat. Oleh karena itu, tidak aneh jika seseorang menjalani siklus kehidupan ganda:

  • Kelahiran & Pernikahan: Dirayakan di kuil Shinto, memohon berkah dari Kami.
  • Kematian: Diurus dengan upacara Buddhis, mengirim arwah ke alam baka.

Selain itu, mereka juga mengadopsi praktik asing: perayaan Natal sebagai momen romantis dan liburan musim dingin, serta kadang-kadang memilih pernikahan gaya Kristen (meskipun tidak memeluk agama Kristen sama sekali) karena dianggap modis secara estetika. Hal ini menunjukkan tingkat toleransi dan keterbukaan yang sangat tinggi dalam memilih praktik yang paling sesuai dengan momen budaya tertentu.

Baca Juga: Ini Dia Budaya Jepang yang Patut Ditiru, Disiplin & Loyal!

Agama orang Jepang dicirikan oleh sinkretisme unik antara Shinto dan Buddhisme. Shinto berfokus pada kehidupan, perayaan, dan pemurnian melalui pemujaan Kami, sementara Buddhisme memainkan peran utama dalam ritual kematian dan peringatan leluhur. Kontradiksi statistik yang melebihi 100% dan tingginya angka sekularisme menunjukkan bahwa bagi mayoritas penduduk Jepang, partisipasi keagamaan adalah penghormatan terhadap tradisi dan warisan budaya, bukan keyakinan spiritual yang eksklusif.

Sebelum pindah ke Jepang, penting untuk memahami agama-agama yang ada di Jepang dan bagaimana orang Jepang mempraktikkannya. Bagi kalian yang berminat untuk bekerja di Jepang, LPK Jabung dapat menjadi solusi Anda yang resmi dan terpercaya. Hubungi LPK Jabung sekarang untuk dapatkan info lebih lanjut!

Bagikan ke: